PALEMBANG (Pustakalewi) – Nama Prabowo Subianto disebut dalam Kongres XII AJI (Aliansi Jurnalis Independen di Palembang. Pasangan Gibran itu disebut Ross Tapsell, professor dari Australian National University (ANU) dalam suatu diskusi, karena menggunakan metode toxic positivity dalam kampanye.
Menurut Tapsell, kampanye Prabowo adalah kebalikan dari apa yang selama ini dipahami sebagai disinformasi. ” Daripada menggunakan taktik kampanye negatif, kampanye ini bertujuan untuk secara konsisten membangkitkan energi positif,” ucap Tapsell seperti dikutip Pustakalewi dari website AJI.
Tapsell menambahkan, Prabowo sering kali setuju dan mengucapkan terima kasih kepada lawan-lawannya selama debat. Namun Prabowo tetap menghindari wawancara dan konferensi pers yang mungkin akan membuat dia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sulit tentang masa lalunya atau meneliti kebijakan-kebijakannya di masa depan. Prabowo juga mengiyakan dan tidak pernah menjelekkan pasangan lain, termasuk kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini.
“Ini menjadi tantangan untuk pencari fakta, juga mengidentifikasi kembali apa itu disinformasi,” sambung Tapsell.
Ross Tapsell berbicara dalam Indonesia Fact Checking Summit (IFCS), yang diselenggarakan di Kongres AJI Palembang. Acara yang dihadiri lebih dari 500 peserta dari jurnalis, mahasiswa dan akademisi, diselenggarakan AJI bersama AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) dan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dengan didukung Google News Initiative.
IFCS merupakan forum nasional yang mengulas tentang tren gangguan informasi, penggunaan kecerdasan buatan ( artificial intelligence ) dan dinamika ekosistem media selama pemilu 2024. Ross Tapsell dari ANU mengatakan, para pencari fakta harus mulai memindahkan fokus dari sekedar konten ucapan kebencian ke tingkat yang lebih serius lagi yaitu propaganda pemerintah.
Tapsell telah melakukan riset dan membandingkan tiga negara yang sama-sama melakukan pemilu, yaitu Indonesia, Filipina dan Malaysia. Dan apa yang terjadi di ketiga negara itu tidak terlalu banyak berbeda dalam hal kampanye calon presiden melalui media sosial.
Kandidat presiden Filipina pada masa itu, Marcos Jr menggunakan media sosial TikTok untuk menggambarkan bagaimana hebatnya pemerintahan Marcos masa lalu. ” Ini jelas disinformasi, ” kata Tapsell.
Berbeda dengan Calon Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan elit Orde Baru lainnya, yang tidak menuliskan sejarah masa lalu seperti Marcos, karena menggunakan metode toxic positivity. Prabowo dan tidak pernah menjelekkan pasangan lain, termasuk kebijakan yang dilakukan Pemerintah Jokowi saat ini.
Saat seminar, sejumlah narasumber yang hadir diantaranya, Koordinator Koalisi CekFakta Adi Marsiela, News Partner Manager Google Indonesia Yos Kusuma dan Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho.
Koordinator Koalisi CekFakta Adi Marsiela mengatakan, dari Januari hingga 20 April 2024, ada sebanyak 2.268 artikel yang dibongkar oleh CekFakta. Jumlah yang banyak itu karena momen Pilpres 2024, dan ramai dengan aplikasi Sirekap.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho menyatakan, tingkat kepercayaan masyarakat menurun dengan penyelenggaraan Pemilu 2024. Yang dihadapi bukan saja akun-akun atau aktor politik, tetapi juga konten farming. Menurutnya dia tantangan ke depan bukan hanya disinformasi, tetapi juga masuknya Artificial Intelegence. [Redaksi/web aji]
Berita Lainnya
Polrestabes Surabaya Kembali Gelar Operasi Semeru
KPU Resmi Tetapkan Pasangan Marhaen Djumadi – Trihandy Cahyo Saputro Pada Pilkada Nganjuk
Camat Benowo Ungkap Penipuan UMKM Yang Menimpa Warganya