
Pustakalewi.com – Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan untuk bisa memberi stimulus dan meningkatkan peran dari sektor jasa keuangan dalam perekonomian apalagi pertumbuhan di daerah, industri jasa keuangan harus harus memfasilitasi sistem jasa keuangan yang berintegritas yang terpercaya dan tidak menimbulkan keraguan dari masyarakat.
Dalam kondisi saat ini, banyak yang harus diperbaiki, karena reputasi dan kondisi yang terjadi pada banyak perusahaan jasa keuangan baik yang memperoleh izin beroperasi resmi apalagi yang tidak, itu justru menggerus reputasi dan kepercayaan terhadap sistem dan sektor jasa keuangan secara keseluruhan.
“Ini yang menjadikan kami harus fokus kepada bagaimana melakukan edukasi dan kegiatan untuk meningkatkan literasi keuangan,” kata Mahendra, dalam Kuliah Umum di Universitas Hasanuddin mengenai Sosialisasi dan Edukasi Perlindungan Konsumen, Senin (19/12).
Indeks literasi dan keuangan nasional memiliki gap yang besar, dari survei nasional tiga tahunan OJK yaitu inklusi tercatat 76,19% dengan literasi hanya sebesar 38,03% pada 2019. Kemudian di tahun 2022, meski persentasenya naik, namun gapnya masih besar, yaitu inklusi tumbuh menjadi 85,10% dengan literasi menjadi 49,68%.
Inklusi adalah angka yang menunjukkan seberapa besar populasi di kawasan tertentu sudah terjangkau dengan produk jasa keuangan seperti rekening tabungan, deposito, asuransi atau kegiatan di keuangan mikro atau mengajukan kredit dan pembiayaan untuk konsumsi dan sebagainya.
Sedangkan literasi merujuk kepada apakah yang memiliki akses keuangan tersebut memiliki pemahaman mengenai manfaat dari akses dan risiko yang tidak diinginkan, dari jasa keuangan palsu, ilegal, dan yang bodong.
“Walaupun inklusi besar, namun untuk literasi rendah. Artinya tingkat risiko kerawanan mereka yang memiliki akses keuangan masih tinggi dengan gap besar itu. Jadi besar risikonya,” kata Mahendra.
Sekarang dengan online, modus-modus kejahatan jasa keuangan menjadi lebih masif. Ini terjadi karena sebagian korban juga merupakan generasi milenial, dengan ciri konsumtif, tidak sabar, serba instan, fokus keuntungan, dan fear of missing out (takut ketinggalan momen) sehingga mudah tergiur investasi dengan iming-iming menjadi kaya dengan cepat.
Mahendra menduga ini persoalan tersendiri bahwa yang menjadi korban kegiatan yang ilegal seperti ponzi malah malu menyatakan diri sebagai korban. Akibatnya kasus terjadi berulang.
Dia mengatakan tidak usah malu menjadi korban investasi ilegal karena memang terjadi di seluruh dunia. Dengan mengungkapkan, korban juga membantu agar kasus tidak terjadi lagi kepada orang lain.
Kasus terperangkap pinjol yang menimpa mahasiswa IPB yang terperangkap oleh manipulasi kegiatan yang sebenarnya bukan sama sekali pinjaman tapi sepenuhnya penipuan.
Masing-masing utangnya banyak dan harus dibayar jadi tidak bisa malu, karena tidak saja hilang uangnya tapi malah berhutang.
OJK dalam hal ini walaupun itu sepenuhnya penipuan, dan perusahaan sepenuhnya memiliki izin dan sah secara peraturan OJK, tapi OJK ikut menanggulanginya.
Mahendra mengatakan lerusahaan yang tempat mahasiswa berhutang, sebagian sudah memberikan konsesi untuk utang bisa dilunasi dalam jangka waktu yang panjang, sebagian lagi bersedia untuk menghapusnya.
Jadi terlepas ini ada izin atau tidak ada izin sah atau tidak tapi yang terkena penipuan ini adalah mahasiswa yang harus memikul tanggung jawab dan maju ke depan.
“Maka kami akan hadir untuk menyelesaikannya. Kami tidak berdalih apakah perusahaan ada izin atau bodong atau ilegal. OJK menggalang pemahaman solidaritas dari perusahaan jasa keuangan yang juga akhirnya memperoleh reputasi tidak baik dari penipuan tersebut,” kata Mahendra. Info/red
Berita Lainnya
OJK Perusahaan Tbk Boleh Buyback Saham Tanpa RUPS
Bank Indonesia dan Pemprov JatimPerkuat Strategi Pengendalian Inflasi Jelang Idul Fitri 2025
IHSG Trading Halt, Said Abdullah Minta Pemerintah Benahi Gaya Komunikasi